Cahaya mentari masih prematur menyinari sebagian halaman Pondok Pesantren Assalam Arya Kemuning, Barong Tongkok, Kutai Barat, Kalimantan Timur. Sebagian santri yang baru kelar mengaji berhamburan dari masjid pondok.
Pakaian mereka khas, baju koko putih, peci putih, dan kain sarung. Seusai shalat Subuh berjamaah, para santri ini tak lantas meninggalkan masjid. Mereka harus mengikuti serangkaian kegiatan rutin yang telah terjadwal rapi: mengaji Alquran maupun mengkaji kitab.
Pengasuh Pondok Pesantren Assalam Arya Kemuning KH Arief Heri Setyawan menatap polah santrinya dari kejauhan. Sesungging senyum mencuat di bibirnya kala melihat dua santrinya berlarian sambil baku tarik sarung.
Pagi itu, Arief sedang mempersiapkan diri melakukan perjalanan jauh. Ia akan membuka lahan dakwah di Tanjung Soke, sebuah kampung terpencil di ujung Kutai Barat. Jarak antara Barong Tongkok—lokasi pesantren—dengan Tanjung Soke sekitar 270 kilometer.
Perjalanan menuju kawasan terluar Kutai Barat itu bakal ditempuh dalam waktu tujuh jam menggunakan mobil. Karena itu, Arief sengaja berangkat di awal hari agar tak terlalu sore sampai di kampung yang termasuk wilayah Kecamatan Bongan tersebut.
Selain memimpin Pesantren Assalam, Arief dikenal sebagai dai yang intens membina mualaf di pedalaman Kalimantan Timur. Dai utusan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang berdakwah sejak 1991 ini telah mengislamkan 900-an warga Dayak di Kutai Barat. Ia bahkan termasuk pioner yang membuka lahan dakwah di Barong Tongkok, kawasan yang dikenal minim sentuhan dakwah Islam kala itu.
“Barong Tongkok artinya raja judi,” kata Arief. “Jadi, bisa dibayangkan bagaimana beratnya membuka lahan dakwah di daerah ini. Namun, berkat bantuan kaum Muslimin, terutama transmigran asal Jawa, dakwah Islam di Barong Tongkok mulai menampakkan hasil.”
Tepat pukul 07.30 WITA, Arief dan rombongan berangkat menuju Tanjung Soke. Ia sengaja membawa sebagian santri dalam tiap safari dakwahnya. Mereka mengiringi ceramah Arief dengan memainkan musik hadrah berisi lagu-lagu shalawat.
Perjalanan ke Tanjung Soke memang tak mudah. Aspal hanya menghiasi jalan provinsi yang menghubungkan Kutai Barat dengan Kabupaten Kutai Kartanegara. Setelah berbelok di pertigaan Kota Resak, akses menuju Tanjung Soke hanya jalan tanah. Berdebu dan bercampur kerikil. Di jalanan ini, kecepatan maksimal kendaraan roda empat mentok di angka 30 km per jam. Belum lagi harus naik-turun perbukitan.
Sekitar pukul 14.40, Arief dan rombongan safari dakwah Pesantren Assalam tiba di Tanjung Soke. Kampung yang terletak di tengah hutan dan dibatasi anak Sungai Mahakam ini tampak lengang. Di lapangan sepak bola di tengah kampung, hanya tampak lima kerbau yang merumput.
Rumah-rumah panggung milik warga hampir semuanya terkunci. Dusun ini bak kawasan tak bertuan. Sepi dan sunyi. “Sebagian besar warga tengah ‘merintis’ di hutan,” kata Syahroni, warga setempat.
Merintis adalah sebutan warga setempat untuk mengistilahkan pembukaan lahan bercocok tanam baru di tengah hutan. “Karena jarak hutan cukup jauh, sekitar 10-20 kilometer, sebagian besar warga menginap di sana. Mereka baru pulang setelah perbekalan habis,” kata Syahroni.
Hampir seluruh warga Tanjung Soke berprofesi sebagai petani atau peladang. Mereka bercocok tanam di kawasan hutan yang telah diubah menjadi lahan garapan. Warga menanam padi, palawija, juga sayuran. Hanya mengandalkan air hujan, tak heran jika hasil pertanian mereka kurang maksimal. Bahkan untuk padi, warga hanya panen setahun sekali. Itu pun dengan kualitas yang kurang bagus.
Dengan kondisi tersebut, tingkat ekonomi warga Tanjung Soke dapat dibilang jauh dari kata berkecukupan. Saking susahnya, sampai-sampai warung pun tak ada di kampung ini. “Lagi pula siapa yang mau belanja di warung,” ujar Syahroni. “Pembeli pun tak ada jua.”
Tantangan dakwah
Kampung Tanjung Soke adalah pedalaman terpencil dan terluar di Kutai Barat, berbatasan dengan wilayah Provinsi Kalimantan Tengah. Mayoritas penduduknya adalah suku Dayak Luangan, sisanya pendatang Bugis dan Banjar. Syahroni adalah salah satu pendatang tersebut. Ia menjadi bagian dari Kampung Tanjung Soke karena menikah dengan perempuan setempat.
Hanya terdapat 31 rumah dengan 113 penghuni di Tanjung Soke. Sebagian besar warga di kampung yang dibuka pada 1960 itu adalah mualaf. Sebagian lain memeluk Katolik. Akibat kemiskinan, tingkat pendidikan warganya termasuk rendah.
Selain terbelit persoalan ekonomi dan pendidikan, warga Tanjung Soke juga terbentur akses kesehatan. Tak ada puskesmas atau klinik di sini. Tak ayal, warga hanya mengandalkan jasa belian untuk pengobatan. Apatah lagi jika bicara soal dakwah Islam. “Di sinilah tantangan dakwah sebenarnya,” kata Arief melihat kondisi Tanjung Soke. “Kita mesti berjuang keras di medan dakwah seperti ini. Apalagi, sebagian warga masih mempraktikkan tradisi animisme walau mengaku sudah Islam.”
Sengkunir, ketua adat Dayak Luangan Tanjung Soke, tak menampik jika warganya masih mempraktikkan ritual animisme. Misalnya kwangkai, sebuah tradisi pengorbanan binatang untuk arwah leluhur. “Saya tak bisa melarang. Dulu ketika memeluk Katolik, warga tetap mempraktikkan ritual ini. Setelah menjadi Muslim, mereka juga masih melakukannya.”
Menurut Sengkunir, tak perlu mempertentangkan antara adat atau tradisi dengan kewajiban agama. Selama keduanya bisa berjalan seiring, biarkan saja mengalir. “Bagi kami, ritual adat itu sudah mendarah daging. Susah dihilangkan. Yang perlu dijaga, bagaimana kedua ajaran ini tidak saling menggerus satu sama lain,” ujarnya.
“Jika ritual adat ini ditinggalkan, akan timbul petaka pada warga yang bersangkutan,” kata dia. “Contohnya, ada warga kami yang tiba-tiba meninggal karena tidak melakukan kwangkai. Padahal, ia seharusnya melakukan itu ketika diminta.”
Di sisi lain, kata Sengkunir, warga yang melakukan kwangkai di saat sakit, justru mendapat kesembuhan hanya dengan berobat ke dukun. Hal-hal seperti inilah yang membuat warga tetap melestarikan tradisi nenek moyang mereka walau telah berpredikat Muslim.
KH Arief mafhum dan memaklumi kondisi yang ada. Ia tak ingin dakwah Islam disemai dengan cara frontal dan paksaan. “Kondisi dan medan dakwah di sini (pedalaman) berbeda dengan di Pulau Jawa. Kita tidak bisa ujuk-ujuk mengharamkan dan membid’ahkan tradisi masyarakat. Butuh waktu dan kesabaran untuk menyadarkan mereka,” ujarnya.
H Asrani, ketua Takmir Masjid Arrahman (satu-satunya masjid di Tanjung Soke), sepakat dengan Arief. Dakwah mesti dilakukan dengan ihsan dan bijak. Bukan dengan kekerasan atau paksaan. “Kita tidak bisa menjejali warga dengan dogma-dogma agama yang kaku. Sebab, iman mereka belum kokoh benar. Di sinilah kearifan dakwah perlu dikedepankan,” kata pria asli Banjar itu. rep:chairul ahmad ed: nur hasan murtiaji
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/14/09/15/nbxhun54-dakwah-di-pedalaman-kalimantan-1-cahaya-hidayah-di-tanjung-soke